Menangis, menjerit, bersedih, oh tidaaak. Begitulah perasaan yang menghiasi setiap muslim yang merasa beriman di dunia ini tatkala Ramadhan nan mulia nan berkah yang penuh ampunan akan meninggalkan kita dan tak terasa kita sudah berada dihari-hari terakhirnya. Menangis, menjerit, bersedih ketika diri ini dan diri Muslim lainnya berpikir akankah Ramadhan selanjutnya kita akan bertemu dengannya lagi, bisakah kita beribadah dengan sungguh-sungguh walaupun hari ini bukan Ramadhan? Hari-hari terakhir Ramadhan hari dimana kaum Muslim ramai berlomba-lomba mencari dan mengharap sebuah malam yang istimewa yang penuh kedamaian yaitu Lailatul Qadar. Namun, di satu sisi hari-hari terakhir Ramadhan, sebagian Muslim lainnya sedang sibuk2nya mencari, berkeliling ke setiap pasar, mall, swalayan dsb. untuk berbelanja membeli kebutuhan-kebutuhan pokok yang katanya untuk dipakai, dirasakan dan dinikmati ketika hari kemenangan tiba pada hari raya Idul Fitri. Mudik ceritanya… ya begitulah saya menyebutnya ketika di rutinitas kerja saya resmi libur, saya mulai berbenah membawa perlengkapan-perlengkapan termasuk pakaian yang berada di mess untuk dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun kata orang-orang jarak kampung saya dengan kota tempat saya bekerja terbilang dekat namun sudah berbeda propinsi, boleh dong saya katakan mudik.
Sabtu, 27 September 2008 hari itu merupakan hal perdana saya secara pribadi melakukan hal yang merupakan rutinitas tahunan masyarakat Indonesia. Saya dan para penghuni mess melakukan rutinitas itu, namun tidak tahu bagi teman saya apakah itu hal perdana bagi mereka. Hari itu mungkin hari terakhir kami sahur bareng di mess di bulan Ramadhan tahun ini yang sebentar lagi berakhir, hari dimana hari itu kami akan pulang ke rumah masing-masing. Rumah dimana keluarga masing-masing sedang menunggu dan menanti salah satu anggota keluarganya agar bisa berkumpul dan bersilaturahmi tatkala hari kemenangan tiba.
Selesai berbenah dan berfoto ria, mess kami kunci. Tas yang berat yang berisikan pakaian-pakaian dan lain sebagainya kami bawa untuk dibawa pulang dan menemani perjalanan ke rumah masing-masing. Angkot dan bis yang melayani kami pulang, terminal yang bersedia menyediakan tempat untuk kami singgah setelah itu. Nampak kesibukan, keramaian kepadatan di salah satu terminal ibukota, terminal lebak bulus penuh dengan bis dan yang pasti penuh dengan orang-orang yang akan melakukan mudik. Semakin terasalah, aktivitas mudik ini. Dan sempat tersadar bahwa diri ini telah berada dan ikut serta di sebuah rutinitas tahunan yaitu mudik.
Indranya yang punya Gadog, Olihnya yang punya kampung dekeng, Mamunya yang punya Bojong, Junotnya yang punya Sukabumi, Tejonya yang punya Ciomas dan Ucupnya yang punya Panaragan yang makna sebenarnya nama-nama tempat itu bukan yang kami punya melainkan nama kampung kami masing-masing. Sengaja saya gunakan kalimat itu dari salah satu teman saya, yaitu Mamu yang sering berbicara seperti itu. Ya begitulah kami, yang masing-masing memiliki karakter yang sama dan yang sebenarnya karakter kami berbeda-beda. Karakter yang sama mungkin kami dapat dari tempat yang sama ketika kami menuntut ilmu di Bogor EduCARE dan karakter yang berbeda yang didapat sejak lahir. Mudik yang kali ini sempat saya merasa kecewa, dan mudik kali ini yang membuat saya bahagia bercampur dalam hati dan pikiran. Kecewa, ketika hati dan pikiran dibisiki oleh godaan Syaitan tatkala hasil materi yang didapat dari kerja kami terbilang kecil, namun bahagia ketika godaan Syaitan kami abaikan dan iman kami tetapkan besar kecilnya materi yang didapat harus kami syukuri. Mudik ceritanya, ya begitulah ketika ada anggota keluarga saya berkata pada saya ketika sesampainya di rumah datang membawa tas yang padat berisi dan menjinjing bawaan lainnya. Sempat saya berpikir, akankah tahun berikutnya saya melakukan rutinitas tahunan ini, yaitu mudik? Wallahu’alam... dan yang pasti akankah Ramadhan berikutnya saya masih diberi kepercayaan untuk diberi usia setahun lagi agar bisa bertemu, merasakan, beribadah di bulan Ramadhan.
