Sabtu, 27 September 2008

Mudik Ceritanya

Menangis, menjerit, bersedih, oh tidaaak. Begitulah perasaan yang menghiasi setiap muslim yang merasa beriman di dunia ini tatkala Ramadhan nan mulia nan berkah yang penuh ampunan akan meninggalkan kita dan tak terasa kita sudah berada dihari-hari terakhirnya. Menangis, menjerit, bersedih ketika diri ini dan diri Muslim lainnya berpikir akankah Ramadhan selanjutnya kita akan bertemu dengannya lagi, bisakah kita beribadah dengan sungguh-sungguh walaupun hari ini bukan Ramadhan? Hari-hari terakhir Ramadhan hari dimana kaum Muslim ramai berlomba-lomba mencari dan mengharap sebuah malam yang istimewa yang penuh kedamaian yaitu Lailatul Qadar. Namun, di satu sisi hari-hari terakhir Ramadhan, sebagian Muslim lainnya sedang sibuk2nya mencari, berkeliling ke setiap pasar, mall, swalayan dsb. untuk berbelanja membeli kebutuhan-kebutuhan pokok yang katanya untuk dipakai, dirasakan dan dinikmati ketika hari kemenangan tiba pada hari raya Idul Fitri.

H-7, H-6, H-5, H-4, H-3, H-2, H-1, H, H+1, H+2, H+3, H+4, H+5, H+6, H+7… istilah itu pula yang sering menghiasi telinga kita dan mata kita ketika Ramadhan akan berakhir dan telah berakhir di berita-berita baik cetak maupun elektronik. Namun apa maksudnya? deretan H yang tak pernah lepas jika lebaran akan tiba, dimana sebagian kaum Muslim Indonesia biasa melakukan rutinitasnya yaitu pulang kampung alias mudik. Sebuah rutinitas yang katanya hanya terjadi di negara kita saja, walaupun rutinitas tersebut ada di negara lain namun tak sebesar dan tak seramai di negara kita. Ya begitulah mudik, mudik yang dilakukan orang-orang yang mengadu nasib dan bekerja di kota sudah saatnya mereka kembali ke kampong halamannya walaupun hanya setahun sekali. Darat, laut, udara apapun bisa ditempuh agar orang-orang bisa melakukan mudik namun tergantung sikon keuangan dan ke moodan mereka.

Mudik ceritanya… ya begitulah saya menyebutnya ketika di rutinitas kerja saya resmi libur, saya mulai berbenah membawa perlengkapan-perlengkapan termasuk pakaian yang berada di mess untuk dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun kata orang-orang jarak kampung saya dengan kota tempat saya bekerja terbilang dekat namun sudah berbeda propinsi, boleh dong saya katakan mudik.

Sabtu, 27 September 2008 hari itu merupakan hal perdana saya secara pribadi melakukan hal yang merupakan rutinitas tahunan masyarakat Indonesia. Saya dan para penghuni mess melakukan rutinitas itu, namun tidak tahu bagi teman saya apakah itu hal perdana bagi mereka. Hari itu mungkin hari terakhir kami sahur bareng di mess di bulan Ramadhan tahun ini yang sebentar lagi berakhir, hari dimana hari itu kami akan pulang ke rumah masing-masing. Rumah dimana keluarga masing-masing sedang menunggu dan menanti salah satu anggota keluarganya agar bisa berkumpul dan bersilaturahmi tatkala hari kemenangan tiba.

Mess tempat kami makan bersama tidur bersama dan mandi yang tak mungkin bersama, pada paginya kami bersihkan dari sampah dan debu. Mess, sebuah rumah kontrakan yang lumayan sederhana itu sengaja kami jadikan tempat untuk diabadikan dalam sebuah karya 2 dimensi (foto). Ya begitulah, anak-anak bogor sebutan bagi kami oleh karyawan-karyawan di perusahaan kami bekerja di PT. Wahana Prestasi Logistik yang sempat ada beberapa orang menyebut kami narsis karena dilihat dari sifat dan aktivitas kami. Termasuk saya, dimanapun jadi saya melakukan pemotretan sendirian di kantor atau di tempat lain walaupun hanya dengan telepon genggam saya dan setelah itu salah satu dari foto tersebut saya pasang pada Yahoo Messenger saya. Foto-foto di sebuah mess walaupun hanya menggunakan telepon genggam sudah cukup terbayarkan agar bisa diabadikan, ini loh tempat kami tinggal, ini loh kami.

Selesai berbenah dan berfoto ria, mess kami kunci. Tas yang berat yang berisikan pakaian-pakaian dan lain sebagainya kami bawa untuk dibawa pulang dan menemani perjalanan ke rumah masing-masing. Angkot dan bis yang melayani kami pulang, terminal yang bersedia menyediakan tempat untuk kami singgah setelah itu. Nampak kesibukan, keramaian kepadatan di salah satu terminal ibukota, terminal lebak bulus penuh dengan bis dan yang pasti penuh dengan orang-orang yang akan melakukan mudik. Semakin terasalah, aktivitas mudik ini. Dan sempat tersadar bahwa diri ini telah berada dan ikut serta di sebuah rutinitas tahunan yaitu mudik.

Indranya yang punya Gadog, Olihnya yang punya kampung dekeng, Mamunya yang punya Bojong, Junotnya yang punya Sukabumi, Tejonya yang punya Ciomas dan Ucupnya yang punya Panaragan yang makna sebenarnya nama-nama tempat itu bukan yang kami punya melainkan nama kampung kami masing-masing. Sengaja saya gunakan kalimat itu dari salah satu teman saya, yaitu Mamu yang sering berbicara seperti itu. Ya begitulah kami, yang masing-masing memiliki karakter yang sama dan yang sebenarnya karakter kami berbeda-beda. Karakter yang sama mungkin kami dapat dari tempat yang sama ketika kami menuntut ilmu di Bogor EduCARE dan karakter yang berbeda yang didapat sejak lahir. Mudik yang kali ini sempat saya merasa kecewa, dan mudik kali ini yang membuat saya bahagia bercampur dalam hati dan pikiran. Kecewa, ketika hati dan pikiran dibisiki oleh godaan Syaitan tatkala hasil materi yang didapat dari kerja kami terbilang kecil, namun bahagia ketika godaan Syaitan kami abaikan dan iman kami tetapkan besar kecilnya materi yang didapat harus kami syukuri.

Mudik ceritanya, ya begitulah ketika ada anggota keluarga saya berkata pada saya ketika sesampainya di rumah datang membawa tas yang padat berisi dan menjinjing bawaan lainnya. Sempat saya berpikir, akankah tahun berikutnya saya melakukan rutinitas tahunan ini, yaitu mudik? Wallahu’alam... dan yang pasti akankah Ramadhan berikutnya saya masih diberi kepercayaan untuk diberi usia setahun lagi agar bisa bertemu, merasakan, beribadah di bulan Ramadhan.

Minggu, 14 September 2008

Hari Ini Milik Anda


Jika anda berada di pagi hari, janganlah menunggu sore tiba. Hari inilah yang akan Anda jalani, bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, dan juga bukan esok hari yang belum tentu datang. Hari yang saat ini mataharinya menyinari Anda, dan siangnya menyapa Anda inilah hari Anda. Umur Anda, mungkin tinggal hari ini. Maka, anggaplah masa hidup Anda hanya hari ini, atau seakan-akan Anda dilahirkan hari ini dan akan mati hari ini juga. Dengan begitu, hidup Anda tak akan tercabik-cabik diantara gumpalan keresahan, kesedihan dan duka masa lalu dengan bayangan masa depan yang penuh ketidakpastian dan acapkali menakutkan.

Tulisan diatas merupakan penggalan kalimat sebuah buku yang miliki yaitu La Tahzan (jangan bersedih), sengaja saya gunakan kalimat sebagai pembuka artikel ini merupakan kalimat motivasi yang selalu ada dalam bayangan saya sekarang ini. Sampai-sampai sempat ada beberapa orang yang menegur saya ketika bekerja, kenapa status messages YM saya (Yahoo Messenger) kalimatnya itu terus dalam beberapa hari. Namun, sekarang hampir tiap hari status message YM saya ganti dengan kalimat-kalimat motivasi / mutiara yang diambil dari buku saya ini, La Tahzan. Hari ini milik anda, bukan berarti hari ini milik anda sepenuhnya dan yang lain tak boleh memiliki. Namun, dalam artian hari ini yang sedang anda dan lainnya rasakan, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya karena hari kemarin sudah bukan milik anda dan hari esok belum tentu milik anda.

Hari ini hari dimana saya merasa jenuh, sedih, senang, riang, gembira dsb. yang silih berganti kadang bercampur bersatu padu. Jenuh yang tak seharusnya dirasakan, sedih yang tak sepantasnya diungkapkan, senang, riang, gembira yang semestinya kita rasakan walaupun kejenuhan dan kesedihan sedang kita alami. Pernah terbersit dalam benak, untuk apa koleksi buku-buku psikologi, motivasi, novel, dan agama saya miliki namun toh setelah dibeli dan dimiliki buku-buku tersebut hanya sebuah koleksi semata. 5 buah buku sekaligus yang saya beli, belum satupun saya baca, satu buku sempat saya baca hanya beberapa lembar saja padahal sudah satu bulan lebih 5 buah buku itu berada di meja belajar saya. Kesibukankah atau malas yang membuat saya belum membaca. Apalah arti sebuah buku jika tidak dibaca, walaupun saya belum sempat saya baca, ternyata di rumah ada beberapa orang yang sudah membacanya terutama oleh ayah tercinta. Maka mulailah dari sekarang kita niatkan untuk membaca.

Hari ini hari dimana anda takkan pernah tahu sesuatu yang sedang saya rasakan jika saya tak memberitahukannya, suatu saat saya akan memberitahukannya. Hari ini hari dimana saya tak mungkin dan tak akan pernah tahu kapan ajal saya dan rekan-rekan semua dijemput oleh sang Pemilik dan Pencipta alam raya ini. Dosa-dosa kian menumpuk tak sebanding dengan langkah dan cara kita menebus dosa-dosa itu agar mohon diampunkan. Dosa-dosa yang terus terukir tak sepantasnyalah terukir jika iman dan islam masih tertancap di dalam hati dan diri. Ramadhan yang selalu dinanti dan dirindu oleh setiap individu Muslim di dunia karena didalamnya penuh dengan keberkahan-keberkahan, ampunan-ampunan, pahala-pahala dari Allah yang jika ladang amal yang memang ada di dunia ini kita tanam kita praktekkan hingga suatu saat kita bisa memetik hasil dari ladang amal, Insya Allah di dunia dan jika tidak di akhiratlah kita bisa memanennya dan mendapatkan apa yang telah kita perbuat dengan amal-amal itu.

Rutinitas yang terjadi hari ini, mau tidak mau harus kita lakukan suka ataupun tidak suka, Ikhlas haruslah! Percuma jika setiap hal yang kita lakukan tidak disertai dengan ikhlas akan membuat diri ini sia-sia. Setiap rutinitas pekerjaan di kantor dan aktivitas di lingkungan sekitar jalanilah sebagaimana air mengalir, ikutlah dalam alir dan alur kehidupan yang dirasa baik. Kejenuhan itu memang suatu saat terjadi di perusahaan tempat kita bekerja atau di lingkungan tempat kita tinggal. Namun, jika memang ada jalan keluar yang lebih baik carilah dan raihlah, bukan berarti kita lari dari masalah yang membuat diri kita jenuh. Uang sedekah dan zakat kita yang kita keluarkan hanya untuk dapat riya saja. Kekhusyu’an sholat kita, kefasihan tilawah Al Qur’an kita tak sefasih dan tak sekhusyuk di mata Allah jika masih menempel dalam diri dan hati bahwa hanya ingin dilihat dan didengar orang lain hingga seseorang yang melihat dan mendengarnya merasa terkagum-kagum. Blank, nihil semua itu tak berarti apa-apa. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Harta, waktu, tenaga, dan sebagainya yang kita keluarkan dan korbankan yang katanya untuk mengharap ridho Allah semuanya sirna hanya akan menjadi tumpukan amal-amal yang kosong.

Maka mulailah dari hari ini kita berbuat kebajikan dan kebaikan, amal-amal sholeh yang kita perbuat haruslah disertai dengan ikhlas. Karena, hari ini milik anda, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya jangan tunggu hari esok yang belum tentu milik anda apalagi hari kemarin yang tak akan pernah mungkin kita rasakan dan dapati.

Minggu, 07 September 2008

Ramadhan Kali ini...

Malam berganti siang, jarum jam hanya sekali berdetak tiap detik tapi tak terasa bulan yang dinantikan orang-orang yang mencari ridhoNya akan datang, Marhaban ya Ramadhan. Mohon maaf lahir dan bathin.

Tajamnya perkataan yang kian terucap, tak bersahabatnya raut wajah yang kian terlihat, angkuhnya jiwa raga dalam bersikap. Mengingat Ramadhan yang kian mendekat hanya kata maaf yang dapat kuucap.

Waktu mengalir bagaikan air, Ramadhan yang suci segera hadir, ada luka yang pernah terukir, ada khilaf yang sempat tergulir... Sucikan hati mohon maaf lahir dan bathin.

Gerbang maaf telah terbuka, bulan penuh rahmat di depan mata. Kebersihan hati telah menjadi sarana, saling memaafkan atas segala dosa, agar puasa lebih bermakna.

Jika lisan ini tak sempat tuk berucap, tangan tak sempat tuk berjabat, maka hanya dengan pesan kilat aku dapat berharap. Mohon dibukakan pintu maaf atas segala salah dan khilaf. Marhaban ya Syahru Ramadhan...

Dan masih banyak lagi...

Apa maksud dari tulisan-tulisan diatas? Insya Allah akhi ukhti sekalian tahu, namun bagi yang belum tahu saya akan memberitahukannya. Tulisan diatas merupakan lima dari belasan pesan dalam bentuk SMS yang ada di inbox hand phone saya yang datang dari rekan kerabat saudara, yang maknanya mereka mengucapkan permohonan maaf lahir bathin dalam menyambut bulan nan suci Ramadhan. Meskipun tak secara langsung bertemu dengan saudara tsb, sekedar SMS pun kan terasa senang di hati ternyata diri ini tidak hidup sendiri. Walaupun dalam realitanya, kita hidup bertetangga bahkan dalam satu rumah, masih saja ada orang yang merasa hidupnya sendiri terkesan menyepi entah apa masalahnya hal itu bisa terjadi.

Ramadhan kali ini... terus terang saja terasa beda, dalam arti beda tak biasanya saya menunaikan ibadah shaum (puasa) bersama dengan orang-orang yang paling saya cintai orang tua, adik, keluarga dan rekan, kerabat, saudara di lingkungan rumah di kota halaman kampung Gadog. Santap sahur Buka puasa bersama orang dicinta yang biasanya ditemani oleh acara hiburan televisi sekarang tak dirasakan, makan yang biasanya telah disediakan oleh ibu tercinta kini tidak lagi, akan tetapi bisa sih hal itu terasa walaupun hanya seminggu sekali atau dua kali. Tarawih dan Sholat wajib berjamaah di masjid sekitar rumah pun hanya bisa dilakukan ketika saya berada di rumah. Mengapa? Karena tuntutan karirlah yang menyebabkan saya tidak ada di rumah. Saya tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah ciputat bersama saudara-saudara satu kampus.

Ya begitulah... Ramadhan kali ini beda meskipun baru seminggu saya menjalaninya. Tarawih pertama dan sahur perdana dilakukan di lingkungan rumah, namun buka puasa perdana dilakukan di kantor tempat kerja saya. Di rumah atau di kantor sama aja sih, kita niatnya untuk ibadah, mendapat berkah, memohon ampunan, dan keselamatan di bulan suci Ramadhan ini. Sahur, alhamdulillah bisa dilakukan bersama 5 orang teman saya di mess, meskipun kenyataannya ada teman saya yang harus kerja malam. Jadi setelah dia sahur atau sholat subuh dia kembali ke tempat kerjanya. Meskipun kita makan nasi beserta lauknya di taruh di sebuah nampan dan dimakan bersama-sama, tetap kami syukuri agar syarat ibadah puasa kita diridhoi Allah SWT dan santap sahur kita mendapat keberkahan. Buka puasa, jika berada di rumah terkadang ada saja kegiatan ngabuburit, namun disini di ciputat ngabuburit tersebut saya habiskan di kantor sambil mengerjakan kewajiban saya. Setelah itu, tibalah waktu yang ditunggu setelah seharian berpuasa yaitu buka bersama.

Tilawah Al Qur’an dilantunkan sambil menunggu waktu maghrib di mushola kantor, walaupun hanya beberapa butir kurma terkadang seteguk air diminum untuk membatalkan puasa, pasti kuat kami melakukan sholat magrib. Setelah itu, barulah acara yang terkesan balas dendam namun sebenarnya tidak, kami makan dengan di awali appertizer lalu makan nasi beserta lauknya alangkah kenyangnya setelah itu. Canda gurau dihiasi bersama rekan-rekan karyawan yang lain sambil menikmati hidangan buka puasa. Sholat Isya dan tarawih yang biasa rutin dilakukan selama bulan Ramadhan, hanya saya yang merasa beda. Bagaimana tidak, teman satu mess saya melaksanakan sholat tarawih di mushola kantor. Namun, saya melaksanakan sholat tarawih tsb di sebuah masjid yang lumayan besar disekitar kantor.

Bukan maksud hal-hal furuiyah dipermasalahkan dan dibeda-bedakan, namun tiap-tiap muslim punyalah pemahaman tersendiri selama tidak melenceng apa yang sebenarnya diajarkan oleh Islam. Saya melaksanakan tarawih di masjid sedangkan teman yang lain melaksanakannya di mushola kantor, pastilah ada alasannya. Saya yang biasa tarawih 23 rakaat, pastilah ingin melaksanakan ibadah sesuai dengan pemahaman yang saya dapat dari guru ngaji. Sedangkan teman yang lain melaksanakan 11 rakaat. Terserah orang mau bicara apa, selama amal yang dilakukan muslim ada alasan dan gurunya tidak bertentangan dengan Islam, tidak apa-apa. Ya, selama ada tempat yaitu masjid jamaah yang melaksanakan sholat tarawih 23 rakaat ya saya ikuti. Disamping itu, saya merasa kalau sholat di masjid lebih terasa suasana malam Ramadhannya. Tua-muda, ibu-ibu, bapak-bapak, anak-anak, para pemuda pemudi tunduk sujud melaksanakan ibadah memohon ridho Allah SWT di malam bulan ampunan dan keberkahan.

Beberapa masalah sempat menghiasi diri ini dan diri yang lain, baik itu di kantor ataupun di mess. Namun, saya sadari kita hidup di dunia haruslah siap menghadapi masalah, jika tidak ingin menghadapi masalah jalan keluarnya ya jauhilah kehidupan atau tidak usah hidup. Sebagai contoh jika kita tidak mau mencium baunya selokan ya kita harus menjauhi selokan tsb. Apalagi di bulan suci ini, bulan pelatihan, bulan ujian, setiap masalah suatu saat pasti menghadang kita tapi tidak hanya di bulan suci melainkan dibulan yang lain.

2 Bulan Lebih...

2 bulan lebih sudah diri ini tak berkarya tak berkreasi dan tak mencurahkan uraian kata-kata yang ada di dalam hati dan pikiran di dunia maya, dalam arti sudah lama tidak posting artikel pada blog kesayangan saya ini. Entah malaskah, tak ada waktukah, tak bergairah lagikah untuk membuat artikel yang sewaktu-waktu jika orang-orang mengunjungi blog ini menyempatkan waktu sejenak membaca artikel yang saya buat dan mencerna isi dari artikel saya ini. Memang dari ketiga alasan yang saya sebutkan di atas yaitu rasa malas, tak ada waktu, dan tak bergairah merupakan penyebab alasan saya tidak memposting artikel lagi.

Harus saya akui 2 bulan lebih sudah saya bekerja di sebuah perusahaan jasa pengiriman (ekspedisi) di salah satu sudut di Ibukota. 2 bulan lebih sudah pula saya merasakan dan menikmati kerja sebagai orang kantoran, kerja duduk di depan komputer yang notabene masyarakat memandang hal seperti itu amatlah menyenangkan dan nyaman karena tidak berlarut dalam kelelahan dan kecapaian, akan tetapi siapa bilang kerja seperti itu begitu menyita pikiran dan otak terutama kemampuan indra penglihatan saya. Mata saya dituntut untuk focus pada sebuah monitor yang membuat indra penglihatan saya ini jika terlalu lama memandangnya akan merasakan lelah, pedih, perih terutama kinerjanya akan berkurang. Karena terus terang saja, ketika saya masih menjadi status sebagai mahasiswa, saya pernah memeriksakah mata saya ini dan hasilnya mata saya sudah min 2. Sungguh hal yang tak diduga dan tak disangka mata saya sudah sepantasnyalah dibantu dengan alat yang bernama kacamata. Namun, saya masih enggan memakainya karena kalau boleh jujur saya belum siap… belum siap tampil beda. Hahay

Rutinitas yang mau tidak mau harus dijalani dan dilakukan. Kadang diri ini sempat merasakan kehidupan ini terasa monoton dan berontaklah diri ini, apalagi ditambah jika kita memandang tentang upah yang diberikan dan jam kerja yang gila sampai waktu yang semestinya dipergunakan untuk istirahat kita pun terpakai oleh kerjaan kita sungguh membuat hati ini sakit. Sakit karena kerjaan yang menumpuk, waktu pulang yang tak menentu merasa tak sebanding dengan materi yang diberikan oleh perusahaan tempat saya bekerja tapi apa mau dikata hanya orang tidak ikhlas yang merasakan demikian, karena rejeki seseorang dan semua orang datangnya dari Allah SWT bukan dari tempat kerja kita, tempat kerja kita atau perusahaan hanyalah perantara bagaimana Allah menurunkan rejeki pada makhlukNya. Ya begitulah hidup, hidup di dunia kerja, karakteristik tiap-tiap perusahaan dan manajemennya pastilah berbeda-beda, apalagi kita berada di negara yang katanya makmur. Entah benar atau tidak?

Suka duka telah dan kan saya rasakan lagi bersama saudara-saudara saya dari Bogor EduCare (Olih, Tejo, Ucup, Mamu dan Junot) di sebuah rumah berbentuk kontrakan yang kita menyebutnya mess. Dinner dan breakfast yang insya Allah selalu bersama, di sebuah nampan yang berisikan nasi yang kita masak dari magic com dan menu yang bervariasi dibeli dari warung makan dari hasil patungan, sungguh nikmat yang tiada tara karena kita makannya bersama. Walaupun terkadang ada orang yang menganggap hal tsb aneh dan macam-macam, tetap kami lakukan karena sudah terbiasa dan kami menyebutkan hal tsb adalah santri style. Karena memang saya akui saya pernah melihat para santri di pesantren jikalau sedang makan dengan cara seperti itu. Insya Allah jika dilakukan secara berjamaah mendapat banyak berkah dan berpahala. Amin

Tinggal seatap, serumah dengan penghuni 6 orang sungguh saya rasakan sebagai sebuah keluarga. Meskipun tidak ada yang namanya ayah, ibu apalagi anak. Jika bukan keluarga, mau dibilang apa? Satu sama lain saling menunggu ketika berangkat kerja dan pulang, satu sama lain saling mengantri ketika ada kepentingan di kamar mandi yang tak mungkin kami lakukan secara bersama. Tidurpun terkadang terkesan bersama padahal sebenarnya kami memakai kasur dan bantal masing-masing. Namanya sebuah keluarga, ada saja yang namanya konflik, hal-hal kecil yang terkadang dibesar-besarkan sempat membuat keluarga ini terkesan tak harmonis. Namun, jalan keluar pastilah ada keharmonisan dan ukhuwah satu dengan yang lainnya jika satu sama lain saling mengerti dan memberi solusi takkan pernah pudar lagi.

2 bulan lebih diri ini tinggal bersama dan bekerja terkadang merasakan kejenuhan dan keBETEan, tapi apa mau dikata dalam hidup hal seperti itu pastilah terjadi. Tergantung pikiran dan perasaan kita sudah sepantasnyakah rasa kejenuhan dan keBETEan kita ungkapkan dan rasakan. Keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan yang begitu kuat terdapat pada diri setiap makhluk di bumi rasa kejenuhan itu takkan terjadi, karena Allah tempat kita bergantung, meminta dan mencurahkan perasaan-perasaan yang ada di dalam hati kita.